Jumat, 12 September 2014

Nilai Inti Komoditas Kota

Kota tidak selayaknya hanya dipandang sebagai sebuah wilayah dengan sekumpulan penduduk, namun juga sebuah aset yang dapat dikelola dan didayagunakan secara optimal, entah untuk kepentingan komersial maupun non komersial. Potensi yang dimiliki sebuah kota bisa berupa wisata alam, keragaman seni dan budaya, peninggalan sejarah, kekayaan flora fauna ataupun yang lainnya. Setelah potensi seperti diatas diidentifikasi, baru diupayakan menarik perhatian masyarakat untuk datang berkunjung. Faktor pengemasan memainkan peran utama untuk menumbuhkan persepsi masyarakat luar supaya mempunyai minat untuk berkunjung. Pengemasan ini mencakup konsep pengembangan, penyediaan infrastruktur yang baik, pelayanan yang memuaskan sampai dengan strategi komunikasi yang menjual. Disini konsep destination brandinglah yang akan berbicara.

Dalam konsep destination branding tahapan awal yang harus dilakukan adalah menentukan nilai inti yang benar-benar terdeferensiasi, lalu menciptakan karakter ataupun kepribadian yang kuat, baru kemudian masuk ke tataran strategi komunikasi. Beberapa tahun terakhir ini Solo mencoba mengaplikasikan konsep destination branding tetapi sepertinya belum berjalan sesuai yang diharapkan. Program yang dijalankan pemerintah kota sebenarnya sudah cukup bagus, misalnya dengan penyediaan berbagai macam infrastruktur, menggelar even-even berskala nasional maupun internasional dan melakukan berbagai strategi promosi di berbagai lini. Tetapi ini semua tidak akan berjalan maksimal jika Solo belum mempunyai nilai inti yang benar-benar unik sebagai diferensiasi sebuah daerah tujuan wisata, yang nantinya menjadi komoditas utama untuk dijual. Mengapa harus ada nilai inti dan apa pentingnya? Nilai inti adalah esensi dari sebuah daerah, tanpa menentukan nilai inti yang jelas, fondasi brand Solo tidak akan kuat untuk menciptakan karakter, begitu pula dalam melakukan aktivitas komunikasi kepada masyarakat, baik ke dalam maupun ke luar. Sebagai contoh, daerah tujuan wisata yang paling terkenal di Indonesia adalah Bali. Bali menjadi sangat terkenal karena nilai inti dan karakter kuat yang dimiliki masyarakatnya. Nilai inti berupa keramahan, kejujuran, sikap santai, dan saling menghormati yang dimiliki masyarakat Bali menjadikan Bali lebih dari sekedar pulau dengan pesona alam yang cantik. Nilai inilah akhirnya yang membawa brand Bali menjadi brand yang sangat kuat baik secara nasional maupun internasional. Tragedi pengeboman pada tahun 2002 membuat pariwisata di Bali hancur, tetapi karena nilai inti dan karakter masyarakat Bali begitu kuat, brand Bali dapat pulih dengan relatif cepat. Disinilah pentingnya sebuah nilai inti, karena apabila belum menentukan nilai inti tetapi sudah melangkah jauh, dikhawatirkan Solo akan mudah kehilangan karakter dan terkesan meniru daerah lainnya, dengan kata lain tidak dapat menjadi dirinya sendiri.

Lalu bagaimana menentukan nilai inti Solo? Ada dua cara yaitu menggali potensi yang sudah ada atau menciptakan nilai baru. Keduanya dapat dilakukan melalui riset internal maupun eksternal. Sebenarnya Solo memiliki potensi yang kuat untuk dijadikan nilai inti, tinggal bagaimana kita menggalinya. Jika ditinjau dari faktor alam, Solo hampir dipastikan tidak mempunyai komoditas alam yang dapat dijual, jika dari faktor fisik atau bangunan, Solo mempunyai Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran sebagai komoditas fisik tetapi ini tidak dapat terdeferensiasi dengan kuat karena daerah lain juga mempunyai komoditas serupa. Lalu bagaimana dengan faktor budaya dan masyarakat? Faktor budaya dan masyarakat sepertinya lebih relevan untuk dijadikan nilai inti, tergantung sejauh mana kita mampu menggali akar budaya Solo yang benar-benar otentik dan mampu menciptakan masyarakat yang berkarakter kuat. Dalam perjalanannya, Solo memiliki latar belakang sejarah yang panjang dan budaya yang sangat kuat, inilah yang dapat kita gali untuk dijadikan nilai inti.

Kenyamanan

Sering kita mendengar orang-orang dari luar Solo, misalnya teman atau saudara yang sedang berkunjung mengatakan bahwa Solo merupakan daerah yang nyaman untuk tinggal, dengan mayoritas masyarakatnya yang santun dan ramah. Apabila kita cermati, kenyamanan dan keramahan dapat diangkat menjadi nilai inti, tentunya dalam balutan budaya lokal. Menciptakan kehidupan yang nyaman, tentram, membangun karakter masyarakat yang santun dan ramah, jujur, penuh empati dengan latar belakang budaya akan menciptakan sebuah nilai dan karakter yang kuat. Apabila suasana nyaman dan tentram dapat kita ciptakan, kita akan merasa nyaman tinggal dirumah sendiri, maka masyarakat luar Solo akan lebih mudah untuk datang berlibur dan ikut merasakan kenyamanan dan ketentraman hidup di Solo. Selain itu, Solo juga mempunyai akar budaya yang kuat, berbagai macam kesenian dan tradisi ada disini. Tetapi persoalannya apakah masyarakat Solo mempunyai rasa bangga dan memiliki, serta muncul tekad yang kuat untuk melestarikan? Lain halnya dengan Bali, masyarakat disana sangat bangga dan ada kesadaran untuk melestarikan nilai budayanya. Sebagai contoh sederhana misalnya, ikat kepala dan bunga kamboja putih sebagai atribut lokal disana masih dilestarikan sampai saat ini, dan mereka bangga memakainya. Dari situ akhirnya muncul sebuah keunikan identitas, bahwa masyarakat dengan ikat kepala dan bunga kamboja putih di daun telinga hanya dapat kita temui di Bali. Dan bahkan ketika berlibur ke Bali, kita atau wisatawan mancanegara ikut bangga mengenakannya. Hal semacam inilah yang belum dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Solo, rasa melu handar beni dan keinginan untuk nguri-uri budhaya jawi perlu ditanamkan disetiap benak masyarakat.

Jika ‘kenyamanan dan keramahan dalam balutan budaya lokal’ dijadikan nilai inti, maka berikutnya adalah membentuk karakter atau kepribadian masyarakat dengan berlandaskan nilai inti tersebut. Sosialisasi dan komunikasi internal perlu dibangun lebih intens guna menciptakan sebuah kepribadian yang kuat. Sosialisai harus dilakukan dari lapisan teratas sampai lapisan masyarakat paling bawah, misalnya setingkat RT. Masyarakat harus paham bahwa Solo akan dijadikan sebuah komoditas pariwisata dengan nilai inti ‘kenyamanan dan keramahan dalam balutan budaya lokal’. Dan pembentukan karakter masyarakat merupakan rangkaian yang tak terpisahkan. Membangun karakter masyarakat yang sopan dan ramah, berperilaku baik, mampu memberi rasa aman bagi wisatawan harus dilakukan untuk mengimplementasikan nilai inti tersebut, termasuk penyediaan infrastruktur yang memadai. Saat ini program pemerintah kota sudah bagus dengan berbagai infrastruktur yang sudah dan sedang dibangun. Solo sedang berbenah untuk mempunyai wajah yang berbeda, tapi jangan lupa bahwa nilai inti dan pembentukan karakter masyarakat jauh lebih penting dari itu semua. Ketika nilai inti sudah jelas, karakter dan kepribadian masyarakat terbentuk, infrastruktur tersedia, dengan segala keramahan dan kesantunan kita akan terasa lebih pantas mengucapkan sugeng rawuh, selamat datang di Solo.


Salam


Kadaryatmo
Konsultan Branding di Solo

Rabu, 10 September 2014

Branding Tak Sekedar Ganti Baju

Dari beberapa artikel yang telah saya tulis sebelumnya mudah-mudahan dapat sedikit membuka wacana bahwa branding bukan hanya persoalan mengolah estetika dikulit luar saja, tapi lebih pada proses kedalaman berpikir dalam merancang sebuah strategi sampai dengan implementasinya. Pemahaman mayoritas masyarakat mengenai branding adalah membuat nama merek, lalu menciptakan logo dan bikin iklan di berbagai media. Ini adalah pemahaman yang salah kaprah. Branding tidak hanya sekedar membuat atau mengganti logo saja, tetapi harus diimbangi dengan perubahan yang setara dengan perubahan logo berdasarkan nilai-nilai dalam perusahaan.

Masih segar di ingatan kita ketika bus Sumber Kencono yang dianggap sering menyebabkan kecelakaan di jalan karena ulah sopir yang ugal-ugalan berusaha untuk me-rebranding dengan nama Sugeng Rahayu. Sesuai namanya Sugeng Rahayu, berasal dari bahasa sansekerta, yang berarti selamat, sejahtera, jauh dari musibah atau kekurangan. Dengan tampilan nama baru dan desain baru apakah sudah cukup untuk mengubah persepsi masyarakat? Belum cukup. Implementasi branding harus dimulai dari internal, kalau orang-orang dalam sudah paham dan menghayati konsep brand maka eksternalisasi brand akan jauh lebih mudah.

Banyak kasus branding yang gagal atau salah arah karena pemilik brand dan orang-orang di dalam belum sepenuhnya memahami konsep branding yang akan dijalankan. Seperti pada kasus Sumber Kencono yang bertranformasi menjadi Sugeng Rahayu, apakah pemahaman mereka melakukan rebranding hanya persoalan mengganti nama dan desain bus saja? Ataukah sudah menyadari perlunya perubahan nilai-nilai internal supaya setara dengan perubahan nama menjadi Sugeng Rahayu? Harus ada pembenahan, misalnya, dulu mayoritas sopirnya sering ugal-ugalan mengejar setoran kini sudah berubah dan berorientasi pada kenyamanan dan keselamatan penumpang, interior bus lebih nyaman, desain bus tampil lebih oke, pelayanan awak bus yang ramah, baik dan jujur, tarifnya terjangkau, ketersediaan armada dalam kondisi prima. Kemudian nilai-nilai tersebut dikomunikasikan secara intens melalui berbagai media. Ini baru bisa disebut rebranding.

Prinsipnya, merancang branding itu adalah proses berpikir sebelum melakukan sesuatu. Jika dilakukan dengan benar maka branding adalah program efisensi. Justru para pelaku bisnis yang belum sadar akan pentingnya branding yang akan menanggung resiko, yaitu keluar biaya besar tanpa ada efek yang signifikan. Sadar tidak sadar kita telah melakukan branding, tinggal mau melakukan dengan benar atau tidak, melakukan dengan baik atau buruk.

Satu hal positif yang dapat kita petik dari kasus PO Sugeng Rahayu adalah kesadaran manajemen untuk bereaksi, mencoba menghapus persepsi negatif masyarakat dengan melakukan rebranding. Sekarang yang menjadi tantangan adalah sejauh mana internalisasi merek benar-benar dapat dipahami dan dihayati oleh seluruh elemen PO Sugeng Rahayu sehingga eksternalisasi merek dapat berjalan lebih mudah dan berdampak positif bagi merek tersebut. Jadi, branding nggak sekedar ganti baju kan?

Salam

Kadaryatmo
Konsultan Branding di Solo